kabarbaru8 - Siapa yang tak mengenal Ponari. Nama dukun cilik beken asal Dusun Kedungsari, Desa Balungsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur, pernah fenomenal di negeri ini.
Kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak berwarna coklat kemerahan itu cukup dramatis dan bernuansa mistis. Ponari dalam ceritanya mengungkapkan, batu itu ditemukan secara tidak sengaja, yakni saat hujan deras mengguyur desanya.
Sebagaimana bocah-bocah seusianya, Ponari bermain-main di bawah guyuran hujan lebat yang sesekali diiringi suara geledek. Pada saat itu, lanjut Ponari, bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.
Sejurus kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari merasakan ada batu berada di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar warna merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang dan diletakkan di meja.
Namun, saat Ponari beranjak remaja. Kesaktian yang dimilikinya seolah meredup. Pasiennya kini bisa dihitung jari.
"Sekarang tak menentu. Kadang ada satu orang, kadang sepi pasien," ujar nenek Ponari, Mbok Legi.
Setiap tamu yang datang, meski tak pernah diminta dan dipatok tarif, rata-rata memberikan uang Rp20.000.
Kata sang ibu, Mukaromah, sejak pasien mulai sepi, kini Ponari lebih fokus sekolah. Putra pertamanya itu kembali meneruskan pendidikan yang sempat tertunda 3 tahun lamanya.
Status Ponari sebagai dukun cilik memang mengubah hidupnya. Setelah secara ekonomi keluarganya naik drastis dari hasil pengobatan Ponari, dukun cilik itu justru enggan ke sekolah, hingga akhirnya tidak mengikuti ujian nasional beberapa waktu lalu.
"Tahun kemarin ikut ujian di program paket A alhamdulillah lulus. Sekarang melanjutkan lagi ke sekolah Tsanawiyah (sekolah Islam setingkat SMP). Baru kelas satu," katanya.
Mengenai materi yang didapatnya dari hasil pengobatan Ponari, keluarga ini mengaku saat itu sempat terkumpul uang Rp 1 miliar lebih dari pasien yang datang.
Dengan uang sebanyak itu, dia mampu membangun rumah yang sangat layak, membeli 2 bidang sawah seluas 2 hektar, sepeda motor dan perabotan rumah tangga.
Namun uang yang jumlahnya fantastis bagi orang kampung itu kini telah habis. Kondisi ekonomi keluarganya pun kembali seperti semula.
Ibu dua anak ini mengeluhkan biaya sekolah Ponari yang tergolong mahal. Padahal biaya ujian akhir semester itu hanya Rp250.000. Bahkan, untuk melahirkan putra ke duanya ia mengalami kesulitan keuangan.
Terkait sepinya pasien Ponari saat ini. Mukaromah memiliki alasan tersendiri sejumlah isu negatif membuat pasien tak lagi datang ke rumahnya. Keluarga Ponari kini menempati rumah cukup mentereng untuk ukuran desa setempat. Dindingnya terbuat dari tembok dengan cat dominan warna putih, berlantai keramik mengkilap. Padahal, sebelum melakoni praktek perdukunan rumah Ponari terbuat dari anyaman bambu dengan lantai tanah. Entah apa yang membuat warga Indonesia khususnya sebagian warga Jombang yakin akan kekuatan batu tersebut.
Kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak berwarna coklat kemerahan itu cukup dramatis dan bernuansa mistis. Ponari dalam ceritanya mengungkapkan, batu itu ditemukan secara tidak sengaja, yakni saat hujan deras mengguyur desanya.
Sebagaimana bocah-bocah seusianya, Ponari bermain-main di bawah guyuran hujan lebat yang sesekali diiringi suara geledek. Pada saat itu, lanjut Ponari, bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.
Sejurus kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari merasakan ada batu berada di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar warna merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang dan diletakkan di meja.
Namun, saat Ponari beranjak remaja. Kesaktian yang dimilikinya seolah meredup. Pasiennya kini bisa dihitung jari.
"Sekarang tak menentu. Kadang ada satu orang, kadang sepi pasien," ujar nenek Ponari, Mbok Legi.
Setiap tamu yang datang, meski tak pernah diminta dan dipatok tarif, rata-rata memberikan uang Rp20.000.
Kata sang ibu, Mukaromah, sejak pasien mulai sepi, kini Ponari lebih fokus sekolah. Putra pertamanya itu kembali meneruskan pendidikan yang sempat tertunda 3 tahun lamanya.
Status Ponari sebagai dukun cilik memang mengubah hidupnya. Setelah secara ekonomi keluarganya naik drastis dari hasil pengobatan Ponari, dukun cilik itu justru enggan ke sekolah, hingga akhirnya tidak mengikuti ujian nasional beberapa waktu lalu.
"Tahun kemarin ikut ujian di program paket A alhamdulillah lulus. Sekarang melanjutkan lagi ke sekolah Tsanawiyah (sekolah Islam setingkat SMP). Baru kelas satu," katanya.
Mengenai materi yang didapatnya dari hasil pengobatan Ponari, keluarga ini mengaku saat itu sempat terkumpul uang Rp 1 miliar lebih dari pasien yang datang.
Dengan uang sebanyak itu, dia mampu membangun rumah yang sangat layak, membeli 2 bidang sawah seluas 2 hektar, sepeda motor dan perabotan rumah tangga.
Namun uang yang jumlahnya fantastis bagi orang kampung itu kini telah habis. Kondisi ekonomi keluarganya pun kembali seperti semula.
Ibu dua anak ini mengeluhkan biaya sekolah Ponari yang tergolong mahal. Padahal biaya ujian akhir semester itu hanya Rp250.000. Bahkan, untuk melahirkan putra ke duanya ia mengalami kesulitan keuangan.
Terkait sepinya pasien Ponari saat ini. Mukaromah memiliki alasan tersendiri sejumlah isu negatif membuat pasien tak lagi datang ke rumahnya. Keluarga Ponari kini menempati rumah cukup mentereng untuk ukuran desa setempat. Dindingnya terbuat dari tembok dengan cat dominan warna putih, berlantai keramik mengkilap. Padahal, sebelum melakoni praktek perdukunan rumah Ponari terbuat dari anyaman bambu dengan lantai tanah. Entah apa yang membuat warga Indonesia khususnya sebagian warga Jombang yakin akan kekuatan batu tersebut.
Allah memberikan sesuatu itu,itu lah yg terbaik untuk umatnya,subahanalloh
BalasHapus